Minggu, 01 April 2012

SEBUAH MODEL PEMBERDAYAAN YANG KOMPLEKS



Penggrajin Topeng Batik Binaan Flipmas Jagadhita
            Yogyakarta… Keragaman seni dan budayanya serta masyarakat yang majemuk tergambar jelas dalam lirik lagu “Yogya” karya Katon Bagaskara. Daerah Istimewa yang kental dengan tradisi budaya keraton ini  tak pernah terlupakan dalam sejarah NKRI. Serangan umum 1 Maret merupakan tonggak sejarah perjuangan bangsa. Karena itu pula,  FLipMAS yang lahir di kota ini Jagadhita memanfaatkan momen sejarah 1 Maret agar mudah diingat rekan-rekannya di seluruh musantara.
            Tak bisa dipungkiri bahwa FLipMAS merupakan sebuah model pemberdayaan yang kompleks. Cikal bakal Flipmas terbentuk di Bali pada tanggal 25 April 2010. Harapannya, Ipteks yang dibawa dari Perguruan Tinggi kepada masyarakat bisa terus dikembangkan. Misinya, mengintegrasikan dan mensinergikan kemahiran akademik, humanistik untuk kearifan lokal. Flipmas mempunyai kewajiban untuk memetakkan permasalahan kewilayahan, mensinergikan kemahiran akademik perguruan tinggi wilayah serta memandu dan membuka akses akademi bermasyarakat. Selain itu, Flipmas mengekspose kinerja forum kepada pemangku kepentingan kewilayahan melalui ekshibisi-ekshibisi  dan jurnal aplikasi ipteks.
Prodikmas Peserta WS
Gunarso Ketua Panitia
            Mengacu pada sebuah model pemberdayaan yang kompleks, FLipMAS Jagadhita menggelar Workshop Proposal bagi para Prodikmas di Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 24-26 Februari 2012. Satu hal yang perlu dicermati dari rekan-rekan Jagadhita dalam pelaksanaan Workshop selama 3 hari tersebut adalah lokasi penyelenggaraan yang jauh dari kebisingingan dan pusat kota. Harapannya, peserta berkonsentrasi penuh pada materi yang disampaikan instruktur. Sebuah pemikiran yang sangat tepat tentunya. Mengingat, untuk mencapai lokasi “Wanagama” Hutan yang dikelola Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada harus menempuh jarak 23 kilometer dari pusat kota atau 45 menit perjananan.
            Pak Gunarso sebagai ketua panitia, agaknya pesimis dengan perolehan peserta yang hanya 40 orang. Tetapi perjuangannya untuk melaksanakan Workshop dengan persiapan yang relative singkat akhirnya terbayar mahal. Betapa tidak? Dengan 40 peserta tersebut selain peserta maksimal dalam menerima materi dari kedua instruktur handal Prof Sundani Nurono Suwandhi dan Pak Gatot, panitia juga  melayani peserta dengan maksimal. Yang mengagumkan, peserta terus menggali potensinya hingga betah begadang lewat pk 00 WIB. “Kalau tidak distop pertanyaan bakal terus mengalir………komentar Pak Sundani”. Untuk membuat peserta betah berjam-jam didalam kelas (karena memang tidak bisa keluar dari hutan) kedua instruktur dengan bijak meramu agar materi yang diberikan menyenangkan bahkan bisa ditangkap memori peserta dengan baik sambil diselingi guyonan khas mereka. Ada cerita tentang ayam dan sapi juga tentang dinosaurus yang mengundang geak tawa peserta.
            Workshop di Yogyakarta menurut penilaian sebagian teman cukup mahal karena peserta harus merogoh kocek Rp 750 ribu untuk 3 hari. Namun, Pak Gun (panggilan Gunarso, ketua panitia) punya alasan lain. Workshop ini sebagai tolok ukur, jika tidak benar-benar orang yang serius untuk menimba ilmu biaya Rp 750ribu akan dinilai mahal, tetapi bagi yang paham manfaatnya biaya senilai itu bukan apa-apa. Hal ini memang menjadi pertimbangan bagi panitia yang bekerja keras selama 2 minggu. Di bagian pernak-pernik, Bu Yuni dari Janabadra yang menjadi motor penggeraknya memang harus menjadi teladan bagi rekan-rekan di seluruh tanah air. Bukan hanya konsumsi, tempat penyelenggaraan tetapi untuk rekan-rekan FLipMAS yang hadir dilayani secara maksimal bahkan ada souvenir batik, sebuah daya pikat peserta dan kenangan yang tak mudak dilupakan oleh tamu dari FLipMAS lainnya.
            Peserta yang datang dengan beragam keahlian mulai dari bidang Eksak, homaniora hingga pekerja seni semuanya bermuara pada satu tujuan “Pengabdian Kepada Masyarakat”. Satu hal yang membuat Pak Gatot lega, seorang peserta yang hadir adalah pengajar dari Fakultas MIPA UGM. Hal ini disadari, karena Jagadhita yang dimotori Pak Gatot belum mampu menarik minat Prodikmas dari UGM. (Shanty)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar