Sabtu, 01 Oktober 2011

Prof Sundani Nurono Soewandhi,Guru Besar Teknologi Farmasi ITB

KAMPUS HARUS MENJADI BENTENG TERAKHIR BANGSA



Guna menyongsong dinamika yang begitu cepat serta semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi masyarakat, kampus harus mampu bersinergi sehingga saling mengisi dan memberi. Mengingat, yang diselesaikan Perguruan Tinggi (PT) baru persoalan yang terjadi di masyarakat tetapi belum mengetahui apa kebutuhan masyarakat dan tantangannya.
Sebuah wadah untuk menghimpun dan menggerakkan kemahiran profesional pelaksana pengabdian kepada masyarakat Perguruan Tinggi dalam mengaktualisasi peradaban masyarakat di wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), maka dibentuklah Flipmas (Forum Layanan Iptek Bagi Masyarakat). Nah, untuk mengetahui sejauh mana kiprah flipmas dalam mengentaskan persoalan yang terjadi di masyarakat serta dampaknya bagi PT, berikut bincang-bincang Agro Indonesia dengan Profesor Sundani Nurono Soewandhi, Guru Besar Bidang Teknologi Farmasi ITB yang memprakarsai lahirnya Flipmas.
Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran anda sehingga anda begitu getol memperjuangkan pengabdi?
Di Indonesia ini orang lebih suka menjadi peneliti ketimbang menjadi pengabdi dan penelitian yang dilakukan di PT dengan dana miliaran tidak ada ujung pangkalnya. Karena itu, sepulang saya dari Jerman setelah meraih doktor dari Institut fuer Pharmazeutische Technologie der TU Braunschweig Jerman tahun 1983, saya mulai tertarik untuk membedah penelitian-penelitian baik di Ristek maupun di LIPI. Saya sedih, dana yang digelontorkan begitu besar tetapi hasilnya tidak nampak. Karena itu, saya pikir lebih baik memperjuangkan pengabdi yang manfaatnya begitu besar untuk masyarakat.
Apa langkah awal yang anda lakukan?
Ya…, tahun 1992 saya mulai masuk tim pakar pengabdian kepada masyarakat Ditlitabmas Ditjen Dikti. Kendati sebelumnya saya bukan orang lapangan seperti mengikuti KKN dan sebagainya tetapi dari sini saya banyak belajar sehingga akhirnya banyak ide-ide yang muncul. Dalam pemahaman saya, bisnis sangat terkait dengan intelektual. Karenanya, timbul pemikiran untuk memberdayakan masyarakat terkait dengan bisnis yang mereka bangun tetapi diiringi dengan pengetahuan yang diperoleh dari perguruan tinggi. Artinya, dosen memiliki teori dan masyarakat yang bisa praktek sehingga jika bisa disinergikan hasilnya tentu optimal.
“Ada satu pendapat yang salah tentang intelektual dan bisnis. Sangat tidak masuk akal jika ada yang menyatakan saya sukses berbisnis walaupun IP saya cuma dua koma. Ini satu hal yang keliru, bisnis yang diimbangi dengan intelektual pasti hasilnya lebih baik dibandingkan bisnis yang dibangun oleh orang yang tidak pintar. Lihat saja, bisnis yang dijalankan seseorang yang tidak sekolah maka akan sulit untuk mengembangkan bisnisnya walau ceruk pasar menganga. Tetapi, orang yang pintar akan membangun bisnis dengan cepat meningkat karena dia akan meraih peluang-peluang yang tidak dilirik orang sebelumnya. Artinya, dengan kekuatan intelektual dia akan berani masuk sektor yang tidak terpikirkan oleh orang lain sebelumnya,” jelas pria kelahiran Cimahi, 9 November 1953 itu.



Bagaimana dengan Flipmas yang sedang anda kembangkan?
Memang tidak mudah untuk mengembangkan Flipmas, karena Perguruan Tinggi Negeri yang punya nama masih nampak egois dan memandang sebelah mata dengan PerguruanTinggi Swasta. Sifat ini yang harus dilebur karena Flipmas bukan milik satu PT tetapi lebih pada wilayah. Seperti halnya kewajiban Flipmas yang memetakkan permasalahan kewilayahan untuk mensinergikan kemahiran akademik PT wilayah. Caranya, memandu dan membuka akses akademi bermasyarakat serta mengekspos kinerja forum ke pemangku kepentingan kewilayahan melalui ekshibisi-ekshibisi jurnal aplikasi Ipteks.
Apa yang mendasari anda dalam mengembangkan Flipmas?
Kehidupan kita ini saling terkait yakni antara Pemda, PT dan masyarakat. Dan untuk berkembang kita harus berani memutuskan siapa dan berangkat kemana?. Mengingat, Flipmas sebagai penata strategi. Tetapi untuk mengedangkan sayap Flipmas lebih lebar lagi memang butuh waktu yang lama.
Kenapa anda justru memilih Bali sebagai tempat lahirnya Flipmas yang pertama?
Ya… Bali itu masyarakatnya lebih terbuka dalam menerima hal-hal yang baru. Dan setelah kelahiran flipmas 25 April 2010 dampaknya luar biasa dan tidak terbatas hanya di Bali karena Flipmas merupakan satu kesatuan bangsa. Di Bali kini menjadi sentral Ipteks meskipun sebelumnya Bali tidak mengenal teknologi. Dengan berpijak pada Bali Shanty (adat) sehingga apapun yang tercipta terkait adat maka Bali Shanty yang menyelesaikan. Dengan kehadiran Flipmas Ngayah di Bali, maka peradaban Bali yang membudaya dan teraktualisasi menjadi visi Flipmas.
Jika visi Flipmas diambil dari peradaban Bali, apa misinya?
Misi Flipmas adalah mengintegrasikan dan mensinergikan kemahiran akademik, humanastik dan kearifan lokal. Dengan begitu kami berupaya bagaimana mensinergikan antar PT serta bagaimana membuat fasilitas yang disinergikan dengan Pemda dan swasta. Dengan langkah ini diharapkan agar masyarakat jangan dijadikan obyek semata tetapi tujuan awalnya adalah meningkatkan kesejahteraan masayarakat. Karena mimpi kami adalah untuk meningkatkan kesejahtetaan karena pengabdian itu tidak boleh gagal.
Apa sebenarnya obsesi anda saat ini?
Yang ada dalam benak saya, bahwa program ini harus suatainable karena perubahan masyarakat yang demikian cepat. Karena, masyarakat itu melihat dan mendengar, sehingga butuh poendampingan sehingga nantinya timbul jejaring antar PT. Pengabdian ini intinya harus ada dampak yang ditimbulkan dari kegiatan yang telah dilakukan kelompok PT dalam satu forum flipmas.
Hingga saat ini ada berapa flipmas yang terbentuk?
Dalam kurun waktu satu tahun setelah terbentuknya flipmas ngayah di Bali, menyusul Hetfen di NTT kemudian Mamiri di Makassar, kemudia ada Jagatdhita di Bandung menyusul di yogyakarta serta yang terakhir Malang Raya. Harapannya bahwa Ipteks yang nantinya dibawa ke masyarakat bisa terus dikembangkan. (Shanty)

2 komentar:

  1. Indonesia, banyak hal yang dipunyai. Apa harus dikata, tetapi semangat itu terus muncul.Ekspresi itu boleh diarahkan kepada kegiatan yang bersifat amal ilmiah kepada siapa saja yang dirasakan memerlukan. Karya seni juga dapat mewarnai dalam kegiatan IPTEKS, yang pada umumnya masyarakat hanya mengenal IPTEK tanpa ES. Kita boleh bersinergi dengan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Selamat berjuang

    BalasHapus
  2. Salam satu jiwa,
    Benar Pak Mistaram....setuju sekali. Maju terus tuk berbagi.....

    BalasHapus