Sabtu, 01 Oktober 2011

LAPORAN PERJALANAN FLipMAS (HABIS)



Aktivitas Flipmas (Forum Layanan Ipteks Bagi Masyarakat) Ngayah-Bali yang dinahkodai I Ketut Sardiana memang padat. Sebagai pilot project forum yang menjadi wadah para dosen ini memang patut menjadi icon bagi forum lainnya yang lahir belakangan. Pada tulisan bagian pertama perjalanan Agro Indonesia di Bali memuat tentang aktivitas flipmas Ngayah yang kosentrasi pada galian tambang batubarak dan bagian kedua fokus pada perkebunan kopi arabika di Kintamani. Nah, untuk yang ketiga, sengaja kami angkat Gumi Banten, tanaman upakara yang kini mulai langka sekalipun di pulau Dewata.
Kalau menilik namanya orang awam pasti mengira lokasinya di Banten Jawa Barat. Tapi….bukan itu yang dimaksud karena Gumi Banten merupakan wujud dari kepedulian Universitas Udayana terhadap pelestarian nilai-nilai budaya Bali yang tergolong nilai kearifan lokal yakni kesadaran tentang keberadaan tanaman upakara yang betul-betul sudah punah sehingga memandang perlu untuk melestarikannya. Bagi masyarakat Hindu Bali yang mayoritas menganut Hindu Siwa Siddhananta, sesajen dalam bentuk bebanten atau prasadham adalah bentuk pemujaan terhadap Dewa Siwa. Inti dari suatu persembahan dalam setiap upacara agama adalah: setangkai bunga, sebiji buah, dan setetes air. Dahulu, masyarakat Bali banyak menanam tumbuhan yang digunakan untuk upacara di pekarangan sendiri.
" Tetapi kini orang Bali semakin pragmatis, sehingga tidak lagi memahami makna dan esensi persembahan dalam sebuah upacara agama, sehingga sesaji agama bersalin rupa. Ada sesuatu yang janggal ketika menyaksikan upacara Piodalan (upacara rutin tiap enam bulan atau satu tahun sekali). Sebagai seorang penganut Hindu Bali, sebenarnya tidak ada yang istimewa menyaksikan upacara seperti itu, tetapi melihat sesuatu yang aneh pada gebogan (bentuk sesajen yang dibuat dari batang pisang) yang dibawa para peserta upacara.Tak seperti lazimnya gebogan yang berisi buah-buahan, gebogan itu diisi oleh beberapa jenis minuman kaleng bersoda dan berbagai jenis minuman kaleng rasa buah. Fenomena ketika sesaji upacara bersalin rupa membuat saya tergugah untuk mendirikan Taman Gumi Banten,” tegas I Ketut Sardiana, dosen Universitas Udayana –Bali.
Kepada Agro Indonesia, Ketua Flipmas Ngayah Bali yang juga Ketua Taman Gumi Banten , I Ketut Sardiana menyatakan, tumbuh-tumbuhan semak, pohon-pohonan ternak, burung-burung yang telah dipakai untuk sarana upacara akan hadir ke tingkat yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan lahir dan batin di dunia dan surga (moksa). Salah satu jalan yang ditempuh untuk dapat mencapai tujuan tersebut dalam agama Hindu dikenal dengan tri hita karana. Dalam hal ini berarti hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam. Karenanya menusia berkewajiban menjaga kelestarian lingkungan alam karena alam merupakan sumber hidup dan kehisupan manusia beserta makhluk lainnya.



Tujuan hidup tidak akan tercapai jika alam ini dalam keadaan rusak sehingga antara alam dan manusia haruslah saling memelihara berdasarkan yadnya (pengorbanan).
memelihara berdasarkan yadnya. Hidup untuk saling beryadnya inilah yang disebut dengan istilah cakra yakni memelihara kesejahteraan alam dengan cara sekala dan niskala. Sekala artinya bahwa flora dan fauna yang tumbuh dan hidup di lingkungan kita harus dijaga keseimbangan hidupnya dengan uapaya nyata. Misalnya lahan jangan dibiarkan tidur tanpa ditumbuhi tanaman dan jangan ada binatang yang musnah dari proses kehidupan di bumi,” ujar Sardiana.
Lebih lanjut dia mengatakan, upacara yadnya tidak hanya bermakna sebagai sarana permohonan yang vertikal kepada Tuhan tetapi bermakna untuk menanamkan nilai-nilai yadnya itu sendiri. Sehingga, harus ada upaya nyata untuk memelihara dengan sungguh-sungguh kesejahteraan alam tersebut. Gumi Banten dirilis bukan semata-mata mencari profit tetapi tujuannya yang lebih besar adalah untuk membangun kesadaran etnik Bali bahwa ada kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan yang mulai diabaikan.
Ditegaskan Sardiana, hingga saat ini produk dari Taman Gumi Banten belum dipasarkan di luar Bali. Produk yang dihasilkan sekitar 5.000 pohon setiap tahun. Diantara 500 opohon tersebut, tercatat 21 kelompok tanaman dan 241 jenis.Dari jumlah tersebut 41 jenis tanaman yang kini menjadi koleksi Taman Gumi Banten mulai sulit didapatkan. Karenanya, harga tanaman bervariasi anatara Rp 25 ribu hingga Rp 250 ribu tergantung kelangkaannya. Diantara koleksi tanaman yang paling langka dari kelompok kelapa yakni Nyuh rangka dan dari kayu adalah kayu plasa serta bunga sokasti, buah kawista dan daun sudamala. Saat ini taman Gumi Banten hanya mampu mencukupi kebutuhan ritual umat Hindu di Bali saja belum bisa memenuhi permintaan dari luar kota.
Menurut Sardiana, tanam-tanaman memberi makan dan melindungi alam semesta. Karenanya, disebut sebagai para ibu. Guna melestarikan keberadaan flora dan fauna Tim Gumi Banten Universitas Udayana mengajak para ahli di bidangnya dari kalangan umat Hindu untuk membuat program aksi melestarikan tanaman upakara. Dengan begitu, flora dan fauna yang ada di tanah Bali jangan punah tapi justru dapat terpelihara dengan baik.
Tanaman Upacara Agama Hindu Bali (TUAHB) merupakan tanaman yang dimanfaatkan dalam kegiatan upacara keagamaan Hindu di Bali yang berhubungan dengan aspek upakara dari kegiatan upacara Yadnya yang dilakukan. Kegiatan konservasi bertujuan untuk mengoleksi dan menyelamatkan jenis-jenis TUAHB terutama yang mulai langka. Bunga merupakan bagian tanaman yang paling banyak digunakan di setiap upacara tersebut dengan persentase sebesar 50 persen.
Kehidupan masyarakat Hindu di Bali selalu berkaitan dengan upacara keagamaan yang kompleks. Dalam kegiatan tersebut tumbuhan mempunyai peranan yang sangat penting. Masing-masing (bagian) tumbuhan yang digunakan memiliki arti tersendiri dalam setiap pemanfaatannya. ha yang disebut sebagai Taman Panca Yadnya. Nama tersebut mengacu pada lima aktifitas utama kegiatan persembahan masyarakat Hindu di Bali yaitu Dewa Yadnya (persembahan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa), Pitra Yadnya (persembahan kepada leluhur), Resi Yadnya (persembahan sebagai balas jasa kepada para Pendeta atas bimbingannya), Manusia Yadnya (korban suci untuk keselamatan umat manusia) dan Butha Yadnya (persembahan kepada Bhuta Kala).
Struktur masyarakat Hindu Bali dalam membuat rumah mengenal satu struktur yang disebut tebeh, berupa pekarangan di belakang kompleks bangunan utama. Di tebeh inilah dulu masyarakat Bali menanam tanaman-tanaman untuk keperluan upacara agama seperti bambu, cempaka, kenanga, anggrek bulan, dan tanaman buah.Tanaman-tanaman ini juga banyak ditanam di halaman pura-pura besar di Bali. Sayang, seiring dengan perkembangan penduduk, lahan-lahan tebeh di rumah-rumah penduduk di Bali semakin menyusut untuk pembangunan tempat tinggal. Tanaman-tanaman upacara pun ikut tergusur oleh semakin padatnya perumahan penduduk. Nasib serupa juga dialami oleh tanaman yang ditanam di sekitar pura yang ikut mulai dieksploitasi oleh penduduk. Akibatnya, tanaman-tanaman ini pun semakin langka.
Konon, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 disebutkan, dalam setahun masyarakat Bali memerlukan hampir 20,5 ton bunga-bungaan dan 36,2 ton janur. Itu pun hanya untuk Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Untuk mengadakan kedua jenis upacara tersebut, satu keluarga Hindu Bali rata-rata harus mengeluarkan uang sebesar Rp 5,3 juta per tahun. Angka itu setara dengan 10,53% pendapatan rata-rata keluarga Bali per tahun. Kini rasio tersebut meningkat seiring dengan semakin langkanya tanaman-tanaman upacara. setidaknya kini satu keluarga harus menyisihkan 20%-30% pendapatannya untuk tanaman upacara. Harga janur, misalnya, jika 10-15 tahun lalu harganya hanya Rp 500 per 10 helai, kini harganya naik menjadi Rp 5.000.Apalagi tanaman langka seperti cempaka. Jika dulu dengan uang Rp 1.000 bisa mendapat lima kuntum cempaka, kini hanya cukup untuk membeli sekuntum. "Dulu tidak sampai begitu, orang biasa metik bunga di halaman. Jadi yang dulu bisa didapatkan gratis sekarang jadi ada cost.
Kini kebanyakan tanaman-tanaman upacara itu didatangkan dari Jawa dan Sulawesi. Kelangkaan ini pada gilirannya membuat masyarakat semakin pragmatis. Ketika buah-buahan tidak ada, masyarakat menggantinya dengan minuman kaleng atau lainnya. Dalam upacara membakar jenazah atau ngaben, misalnya, jika dahulu sebagai perlambang tubuh orang yang meninggal digunakan kayu cendana. Kini dengan semakin langkanya cendana, masyarakat menggantinya dengan kayu jenis lain yang diberi wewangian cendana. Fenomena-fenomena inilah yang memaksa Universiyas Udayana berinisiatif melakukan konservasi tanaman-tanaman upacara.
Menurut Ketut Sardiana, untuk melakukan konservasi tanaman-tanaman ini memang tidak mudah, selain masalah aklimatisasi (penyesuaian cuaca), tanaman-tanaman itu juga dihadapkan pada masalah kompetisi dengan tanaman lain yang lebih besar. Selain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan, dia berharap upaya ini bisa memotivasi masyarakat untuk melestarikan tanaman-tanaman tersebut di pekarangan rumah masing-masing seperti dulu.
“Untuk mendapatkan berbagai perlengkapan upakara terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan tukang banten (mereka yang ahli di bidang sesajen atau tapan) dibantu oleh perangkat prajuru desa meyiapkan berbagai perlengkapan yang diperlukan untuk membuat banten (sesajen). Tetapi, dalam perkembangannya, agama Hindu tidak menutup kemungkinan penggunaan bunga yang berasal dari luar negeri sebagai sarana persembahan walaupun tidak tercantum dalam lontar-lontar seperti bunga nusa indah, margot dan sebagainya. Adanya nilai keuniversalan ini menyebabkan tanaman dari segala penjuru dunia dapat diterima dan dimanfaatkan sebagai sarana persembahan dalam ritual agama Hindu. Hal ini sejalan dengan tuntunan bahwa tumbuhan memiliki sifat para dewa, mereka adalah para juru selamat kemanusiaan,” ungkap Sardiana menutup percakapan. (Shanty)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar