Minggu, 08 April 2012

RENUNGAN KETUA FLIPMAS INDONESIA





KELALIMAN PUNGGAWA

INTROSPEKSI Baru setapak jalan panjang tahun 2012 dilangkahi, belum lega paru-paru ini menghisap oksigen, bangsa ini sudah didera berjuta risau …hujan badai menertawakan perancah besi-besi kekar yang tegak menawarkan kenikmatan dunia, mencibiri tebing-tebing, dataran-daratan yang dibuat congkak ketololan penghuninya. Puting beliung mengolok-olok sinis pohon-pohon.

Satrya bertafakur, sangat prihatin pada nasib bangsanya. Bagaimanapun aku harus bisa menemukan titik urai kekusutan syaraf yang sudah membuat semua mahkluk di Nusapilu ini megap yang hanya satu terbilang namun sejuta hilang. Air bah kehilangan arah, tumpah ruah tanpa peduli. Kepergiannya meninggalkan duka nestapa, noda kemanusiaan. Mungkinkah bencana semesta Nusapilu bercermin pada tingkah polah para punggawa, senopati, raja diraja negeri ini? Ataukah semesta mengisyaratkan nestapa jika tingkah polah merisaukan para punggawa, senopati dan raja diraja tak juga usai?

Hehehe........Huahahahuahaha Batara Narada terbahak-bahak saat menyadari Satrya termangu galau hatinya…haiii satrya…siapa dirimu itu sehingga tak mampu menilai kecongkakan-mu? Kemarin aku sampaikan bahwa seluruh kedukaan dan keluhanmu itu, alami sifatnya. Tak ada yang keliru. Kau tanya tentang kelaliman punggawa, senopati bahkan raja diraja negeri? Ya batara…Coba jawab satrya, dari mana para punggawa, senopati dan raja dirajamu mendapatkan gelaran yang kamu katakan intelektual itu? Hayo jawab…Padepo-kanku hai Batara…Naah, mengapa kamu masih saja bertanya, dari mana tabiat itu mereka dapatkan? Dari mana satrya? Padepokanku hai Batara. Dari mana datangnya ketidak pedulian mereka pada rakyatnya hai satrya? Padepokanku hai Batara…Kamu dan padepokanmu saja tak pernah menyapa, tidak pernah memikirkan apalagi mengurus rakyat ke luar dari kesengsaraannya. Yang kamu urus juga cuma kepeng. Mengapa masih juga kamu tidak paham? Tapi Batara, aku tidak pernah mengajarkan, aku tidak pernah memfatwakan, aku tidak pernah menyabdakan kelaliman itu, bagaimana lalu aku bisa dikatakan mewarnai tingkah polah para punggawa, senopati dan raja diraja ne-geri? huahahahuahahaha…hai satrya masih dungu saja kamu itu…

Guru dan Mahaguru itu tidak hanya ditiru ajarannya, sabdanya, tulisannya, ucapannya, tetapi juga tingkah polahnya! Kamu paham satrya? Guru dan Mahaguru itu mungkin tidak mengajarkan, tidak memfatwakan dan juga tidak menyabdakan. Tetapi mereka semua mungkin men-. Aku harus bisa membekuk semua setan agar tak pernah mampu membonceng di lingkaran lagi…sebab lingkaran tanpa setan, sejatinya adalah harmoni. Hugh tapi bagaimana caranya? Tercenung Satrya saat melangkah. Pikirannya jernih tapi hati-nya galau. Padepokan penghasil kaum intelektual menuding punggawa, senopati bah-kan raja diraja lupa pada ajaran Guru dan Mahagurunya. Guru dan Mahaguru bersabda penuh supata. Tak pernah aku ajarkan kedurhakaan membasmi semesta dan sesa-ma. Tak pernah aku fatwakan kerakusan dan ketamakan penista semesta dan sesa-ma. Juga tak pernah aku sabdakan kemur-tadan pada Sang Pencipta. Tetapi mengapa punggawa, senopati, raja diraja negeri Nu-sapilu lalim seperti ini? Contohkan satrya-mencontohkan perilaku itu kepada cantrik-cantrik

Energi bebas satrya yang meninggi membuat wajahnya membara, tubuhnya menggigil akibat cibiran batara Narada. Hanya sejenak, energi bebas satrya melintasi puncak maksimumnya. Mendadak dia tertawa terba-hak-bahak, terpingkal-pingkal, berlarian, berlompatan liar. Air matanya ikut berleleran. Garanya…haaah. Tidak adakah sengketa di padepokanmu? Tidak adakah pelecehan hak asasi manusia di padepokan-mu? Tidak adakah kerakusan di padepokan-mu? Tidak adakah ketamakan di padepokanmu? Tidak adakah sifat pamer di padepokanmu? Tidak adakah tim sukses di pade-pokanmu? Coba kau renungkan lagi, seluruh karakter buruk punggawa, senopati dan raja diraja negeri, tidakkah kau temukan seluruhnya itu di padepokanmu? Huahahahuahahaha… Satrya, kalau sifat alami manusia itu mencontoh fakta padepokan yang tidak kamu sadari kekeliruannya, mengkristallah dia menjadi sifat durjana tanpa kamu ketahui, tanpa kamu sadari… hehehe…Hayo bantahlah satrya…

Sang satrya semakin termangu, teringat akan pepatah nenek moyangnya sendiri…Guru kencing berdiri, murid kencing ber-lari…ugh. Narada segera menimpali suara batin satrya. Hai satrya, mungkin lebih tepat jika pepatah itu kamu ganti dengan – murid kencing berlari, guru terkencing-kencing - weeelaa. Padepokankah titik kusut itu? Lalu siapa setannya ya? hehehe Ah kemana perginya batara Narada? Batara yang satu ini kalau aku memerlukan buah pikirnya eee dia pergi tanpa pamit. Giliran nalarku ngeheng dia datang ngeledek. Aha masih ada yang membuatmu galau satrya? Ya batara…apakah produk teknologi itu me-mang dimanfaatkan untuk menghadap Sang Khalik? Apa maksudmu? Begitu banyak rakyat Nusapilu ini tewas gara-garanya! Huaha-hahuahaha satrya, kamu itu betul-betul naif. Di negerimu ini menunggang hewan jauh lebih aman dibandingkan membonceng – produk teknologi katamu? Mengapa begitu batara? Sebab hewan tahu berterimakasih satrya, karena itu dia mudah kamu kendalikan. Tetapi produk teknologimu itu tak pernah tahu berterimakasih. Jadi kamu dikendalikannya…hahaha…...., dia mendengar kabar dari radio bututnya, harga BBM naik untuk menolong rakyat miskin…hahaha…Satrya terus tertawa, sampai akhirnya ambruk pingsan… (Sundani Nurono Suwandhi, dikutip dari Tabloid Kenangan Maret 2012)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar