Rabu, 25 Januari 2012

Oleh-Oleh Dari SULSEL


PERTEMUAN NASIONAL FLIPMAS DI MAKASAR
DAN KUNJUNGAN KE BULUKUMBA

                Pada tanggal 11-13 Januari yang lalu, jajaran pengurus FLipMAS seluruh Indonesia berkumpul di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan atas inisitif FLipMAS Mammiri yang juga tengah merayakan ulang tahun pertamanya. FLipMAS Mammiri memang baru berumur 1 tahun, tapi kehadirannya telah diterima antusias masyarakat Sulawesi Selatan. Terbukti pertemuan nasional FLipMAS sangat diapresiasi oleh Kepala BALITBANGDA Propinsi Sulawesi Selatan yang menghadiri pembukaan pertemuan, juga Bupati Bulukumba yang memfasilitasi kunjungan seluruh peserta pertemuan nasional di Bulukumba, serta dengan penerimaan Ammatoa yang memimpin masyarakat tradisi di Kecamatan Kajang yang kukuh menjunjung tradisi menolak masuknya teknologi ke masyarakat ‘tana tua’ dalam.
                Agenda pertemuan nasional, berjalan sesuai rencana. Dimulai dengan paparan perkembangan FLipMAS secara umum di tingkat nasional oleh Ketua FLipMAS Indonesia Sundani Nurono Suwandhi (SNS), pengalaman I Ketut Sardiana dari FLipMAS Ngayah tentang bagaimana melakukan pemetaan wilayah, kemudian dilanjutkan dengan perbincangan tentang ‘Jurnal Kegiatan Pengabdian’ yang pada momen akhir tahun dibahas di 5 tempat yang berbeda (Jogja, Malang, Bali, Makasar, dan Samarinda Kaltim). Pada paparannya Ketua FLipMAS Indonesia menekankan tentang tantangan berat FLipMAS yaitu bagaimana bisa mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat.  FLipMAS mempunyai kewajiban ikut memecah problematika masyarakat, seperti hal sederhana mencerahkan tradisi yang tidak bisa dirasionalkan seperti ‘mengapa ari-ari bayi harus digantung di pohon tertentu di masyarakat Bali, ditanam di bawah pohon kelapa di masyarakat Bugis,di jawa dikubur di depan rumah diterangi lampu selama 7 hari dan lain-lain.
                 Dalam pertemuan itu yang cukup hangat dibincangkan adalah masalah bagaimana format ‘jurnal pengabdian’ yang akan menjadi salah satu corong kegiatan FLipMAS. Hasil workshop di lima tempat tersimpul bahwa artikel pengabdian ‘perlu diperkaya data’ yang bersumber dari kajian dalam kegiatan pengabdian. Mengapa harus begitu ? Bila demikian ada yang berpendapat bahwa di dalam pengabdian ada ‘penelitian’, apa harus demikian ? Muncul gagasan bagaimana ‘prodikmas’ membangun sendiri format penulisan artikel pengabdian. Tentu ini tidak mudah, karena umumnya di benak masyarakat ‘penggiat jurnal’, bahwa artikel jurnal  ya ‘identik’ dengan ‘karya ilmiah’ yang ada dan lazim mengisi jurnal penelitian pada umumnya.  Peserta yang hadir mengharapkan ada pengecualian, karena jurnal pengabdian tentu boleh beda, yang penting asal kaidah ilmiahnya terpenuhi, dan kaidah ilmiah bukan harga mati, yang bisa kita formulasi dengan tetap bertumpu rasionalitas yang benar dan bertanggung jawab. Apa salahnya juga ikut mengacu pada beberapa kaidah yang telah berkembang di jurnal-jurnal penelitian dan cocok untuk pengabdian.
                Sesungguhnya format jurnal pengabdian telah diinisiasi oleh Ketua FLipMAS Indonesia SNS dan telah diadopsi oleh beberapa ‘Jurnal’ FLipMAS yang telah terbit misalnya Ngayah, Jagadhita, dan Olahbebaya. Formatnya sederhana, yaitu: Pendahuluan (berisi: Analisis Situasi dan justifikasi, Tujuan dan Sumber Pustaka/Rujukan); Metode (berisi: Langkah dan Waktu Pelaksanaan); Hasil dan Pembahasan (berisi: Aplikasi Iptek, Rekayasa Alat, Sistem, Manajemen, dan Dampak yang ditimbulkan); Simpulan dan Saran dan terakhir Daftar Pustaka / Rujukan. Analisis situasi sangat ‘urgen’ dalam pengabdian, karena ini yang menjadi ketajaman pengabdi memahami problematika masyarakat, demikian juga metode dan dampak yang ditimbulkan. Orisinalitas karya barangkali tidak bisa seperti penelitian, pengabdian memungkinkan menggunakan aplikasi iptek yang sama tetapi lokasi, analisis situasi, pendekatan, respon masyarakat dan dampak sangat memungkinkan berbeda. Perbedaan ini, menjadi menarik sebagai pengetahuan pengabdi, untuk itu selayaknya ‘artikelnya’ bisa dihargai sebagai hal yang berbeda. Mudah-mudahan di kemudian hari, pengkristalan kesepakatan memperkuat ‘format’ jurnal pengabdian bisa segera dirumuskan.

Kapal Pinisi dan Tana Toa Kajang
                Pasca pertemuan nasional, kami dengan mengendarai 2 bus dan beberapa mobil beriringan menuju Kabupaten Bulukumba. Kurang lebih perjalanan ditempuh selama 6 jam karena sepanjang jalan banyak simpul-simpul jalan yang macet. Bahkan bus yang aku tumpungi terlambat hingga tidak sempat mengikuti pertemuan dengan Bupati Bulukumba. Tetapi dengar dari beberapa teman, terbetik cerita bahwa Bapak Bupati Bulukumba sangat apresiatif dengan rombongan FLipMAS.  Mereka berharap FLipMAS dapat menjadi mitra dalam melakukan perubahan pada masyarakatnya. Ramah tamah di Bulukumba ternyata juga membuka tabir bahwa para penggiat FLipMAS  juga mampu melantunkan suara emasnya. Tidak kalah dengan Ayu Ting Tong……heee.
                Di Bulukumba rombongan dibawa melihat daerah tempat masyarakat membuat kapal legendaries masyarakat ‘Makasar’ yaitu kapal Pinnisi. Di tempat ini kita disadarkan bahwa tradisi masyarakat kita telah diakui kehebatannya. Pemesan kapal Pinnisi tidak saja dari masyarakat Indonesia tetapi juga datang dari berbagai belahan dunia. Berbagai model kapal dapat dibuat sesuai pesanan, ada yang untuk kapal penangkap ikan dan ada pula yang untuk kapal pesiar. Ukuran juga bervariasi dari ukuran kecil hingga sebesar ferri antar pulau. Pendekatan pembuatan sangat ‘pragmatis’ yang penting fungsi, menggunakan ilmu gathuk mathuk (kata orang jawa).
                Dari kapal pinisi perjalanan dilanjutkan ke kecamatan Kajang tepatnya untuk melihat lebih dekat masyarakat tradisi ‘taha toa’. Memasuki kawasan Tana Toa seluruh rombongan disarankan menggunakan baju gelap kalau hitam lebih baik, warna menyolok tidak diperkenankan. Kenapa ? Jangan Tanya karena hal itu sudah berlaku turun temurun. Mungkin itu ada kaitannya dengan kesejarahan ‘masyarakat tana toa’, konon masyarakat ini adalah masyarakat yang sengaja mengisolasi dari ketidakberaturan hidup masyarakat pada waktu itu. Kondisi yang liar mendorong mereka membentuk masyarakat yang beraturan hingga kini. Mungkin warna menyala / norak termasuk warna yang berkonotasi panas, beringas yang mereka hindari, atau bisa jadi pilihan warna hitam untuk memudahkan bersembunyi dan warna cerah mudah terlihat.
                Sementara teman-teman ke rumah Ammatoa, saya diberkenalan dengan anak muda Tana Toa yang kemudian antusias menemani keliling kampung. Alhasil aku dapat tontonan beragam anggrek di hutan-hutan Tana Toa; wow….ada Grammatophyllum scriptum, Cymbidium finlaysonianum, Vanda dearii,  Bulbophyllum vaginatum, Dipodium fictum, Eria densa, Liparis latifolia, serta anggrek-anggrek yang lain yang menggerombol di pohon-pohon besar. Keberuntungan juga ketika jalan-jalan di antara rumah masyarakat dalam suku kajang ini penulis berkenalan dengan  Camat Kajang dan dikenalkan dengan beberapa beberapa ‘Juru’ yang membantu Ammatoa salah satunya adalah Galla Puto yaitu Juru Bicara Tana Toa. Dari sang juru bicara inilah aku mengetahui beberapa hal tentang Tana Toa, beliau besama Bapak Camat dan sepertinya ajudannya dengan tekun menjelaskan berbagai hal tentang Tana Toa termasuk menuliskan lafal bahasa yang aku tidak mudeng. Dalam komunikasi harian masyarakat Suku Kajang  menggunakan bahasa Konjo. Bahasa konjo merupakan salah satu rumpun bahasa Makassar yang berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat.
                Menurut Galla Puto umumnya masyarakat adat Tana toa hidup dari bertani dan memelihara hewan ternak. Kehidupan mereka sangat sederhana, tercermin dari misalnya rumah mereka yang sangat sederhana, tiap rumah hanya memiliki satu tangga berikut pintu masuk dibagian depan. Pada bagian dalam tidak ada kamar, yang ada hanyalah dapur yang terdapat pada bagian depan rumah tepat di sebelah kiri pintu masuk. Penempatan dapur di dekat pintu mengandung filosofis bahwa Orang Kajang sangat mamuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Tidak adanya sekat ruangan memiliki makna bahwa orang Kajang ingin menunjukkan sikap keterbukaannya kepada para tamu yang datang.

                Masyarakat kawasan adat Tana Toa dipimpin oleh Ammatoa yang sangat dipatuhi. Ammatoa berarti bapak atau pemimpin yang dituakan. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Ammatoa bukanlah pemimpin yang dipilih oleh rakyat melainkan seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Yang Kuasa.  Apabila seorang Ammatoa meninggal dunia, maka Ammatoa berikutnya akan ada lagi tiga tahun kemudian. Dalam masa tiga tahun, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang biasanya terdapat pada seorang calon Ammatoa. Setelah masa tiga tahun, para calon Ammatoa yang telah terpilih dikumpulkan, lalu seekor ayam yang telah dilepas pada penobatan terdahulu didatangkan lagi, lalu ayam tersebut dilepas kembali, ketika ayam tersebut lepas dan hinggap pada seorang calon Ammatoa, maka dialah yang menjadi Ammatoa.
                Sebagai tetua adat Ammatoa tidak sendirian, tetapi didampingi oleh dua orang Anronta, masing-masing Anronta Ribungkina dan Anronta Ripangi serta 26 orang pemangku adat. Ke-26 orang pemangku adat ini antara lain Galla Puto yang bertugas sebagai wakil atau sekretaris sekaligus juru bicara dan Galla Lombo yang bertugas untuk urusan luar dan dalam kawasan. Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan. Yang jelas di Tana Toa sudah ada tatanan, dan tatanan tersebut benar-benar dijunjung dengan teguh, ditaati bersama, bagi yang melanggar juga ada sangsi sesuai hokum adat. Ada beberapa hukum adat, mulai dari hukuman paling ringan sampai paling berat. Hukuman paling ringan atau disebut juga cappa babala adalah keharusan menbayar denda sebesar 12 real ditambah satu ekor kerbau. Satu tingkat diatasnya adalah tangga babala dengan denda 33 real ditambah satu ekor kerbau, denda paling tinggi adalah poko babala yang diharuskan membayar 44 real ditambah dengan seekor kerbau. real yang digunakan dalam hal ini adalah nilainya saja, karena uang yang digunakan adalah uang benggol yang saat ini sudah sangat jarang ditemukan.
                Juga ada dua bentuk hukuman lain di selain hukuman denda yaitu: tunu panroli dan tunu Passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian bertujuan untuk mencari palakunya. Caranya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang membara setelah dibakar. Jika tersangka lari dari hukuman dengan meninggalkan kawasan adat Tana Toa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu Passau. Caranya Ammatoa akan membakar kemenyan dan membaca mantra yang dikirimkan ke pelaku agar jatuh sakit atau meninggal secara tidak wajar. Adanya hukum adat dan pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat.
                Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Tana Toa memegang teguh pasanga ri Kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Isi pasanga ri Kajang yaitu:
  1. Tangurangi mange ri turiea arana, yang berarti senangtiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak.
  2. Alemo sibatang, abulo sipappa, tallang sipahua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.
  3. Lambusu kigattang sabara ki pesona, yang artinya bertindak tegas tetapi juga sabar dan tawakkal.
  4. Sallu riajoka, ammulu riadahang ammaca ere anreppe batu, alla buirurung, allabatu cideng, yang artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung
  5. Nan digaukang sikontu passuroangto mabuttayya, yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen.
                Menarik sekali, masyarakat suku Kajang yang dianggap ‘kuno’  dan menutup diri dari gempuran modernisasi zaman ternyata  memiliki ‘hal adi luhung’ yang makin banyak ditinggalkan masyarakat modern. Lima poin pasanga ri Kajang rasanya perlu menjadi pembelajaran buat kita ‘kumpulan PROdikMAS’ yang seperti masyarakat Tana Toa dulu, mengisolir menjauhi kegaduhan dan kesemrawutan, PROdikMAS berkumpul mengaktualisasi diri meninggalkan menara gading PT yang jauh dari akar rumput masyarakat, bisakah kita menelurkan ‘pasanga ri FLipMAS’ yang bisa menggawangi misi dan vifi FLipMAS ? Ini Tantangan, jangan kalah dengan Suku Kajang. Heeee !!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar