PERTEMUAN NASIONAL FLIPMAS DI MAKASAR
DAN KUNJUNGAN KE BULUKUMBA
Agenda
pertemuan nasional, berjalan sesuai rencana. Dimulai dengan paparan
perkembangan FLipMAS secara umum di tingkat nasional oleh Ketua FLipMAS
Indonesia Sundani Nurono Suwandhi (SNS), pengalaman I Ketut Sardiana dari
FLipMAS Ngayah tentang bagaimana melakukan pemetaan wilayah, kemudian
dilanjutkan dengan perbincangan tentang ‘Jurnal Kegiatan Pengabdian’ yang pada
momen akhir tahun dibahas di 5 tempat yang berbeda (Jogja, Malang, Bali,
Makasar, dan Samarinda Kaltim). Pada paparannya Ketua FLipMAS Indonesia
menekankan tentang tantangan berat FLipMAS yaitu bagaimana bisa mencerdaskan dan
mensejahterakan masyarakat. FLipMAS
mempunyai kewajiban ikut memecah problematika masyarakat, seperti hal sederhana
mencerahkan tradisi yang tidak bisa dirasionalkan seperti ‘mengapa ari-ari bayi
harus digantung di pohon tertentu di masyarakat Bali, ditanam di bawah pohon
kelapa di masyarakat Bugis,di jawa dikubur di depan rumah diterangi lampu
selama 7 hari dan lain-lain.
Dalam pertemuan itu yang cukup hangat
dibincangkan adalah masalah bagaimana format ‘jurnal pengabdian’ yang akan
menjadi salah satu corong kegiatan FLipMAS. Hasil workshop di lima tempat
tersimpul bahwa artikel pengabdian ‘perlu diperkaya data’ yang bersumber dari
kajian dalam kegiatan pengabdian. Mengapa harus begitu ? Bila demikian ada yang
berpendapat bahwa di dalam pengabdian ada ‘penelitian’, apa harus demikian ?
Muncul gagasan bagaimana ‘prodikmas’ membangun sendiri format penulisan artikel
pengabdian. Tentu ini tidak mudah, karena umumnya di benak masyarakat ‘penggiat
jurnal’, bahwa artikel jurnal ya
‘identik’ dengan ‘karya ilmiah’ yang ada dan lazim mengisi jurnal penelitian
pada umumnya. Peserta yang hadir
mengharapkan ada pengecualian, karena jurnal pengabdian tentu boleh beda, yang
penting asal kaidah ilmiahnya terpenuhi, dan kaidah ilmiah bukan harga mati,
yang bisa kita formulasi dengan tetap bertumpu rasionalitas yang benar dan
bertanggung jawab. Apa salahnya juga ikut mengacu pada beberapa kaidah yang
telah berkembang di jurnal-jurnal penelitian dan cocok untuk pengabdian.
Sesungguhnya
format jurnal pengabdian telah diinisiasi oleh Ketua FLipMAS Indonesia SNS dan
telah diadopsi oleh beberapa ‘Jurnal’ FLipMAS yang telah terbit misalnya
Ngayah, Jagadhita, dan Olahbebaya. Formatnya sederhana, yaitu: Pendahuluan
(berisi: Analisis Situasi dan justifikasi, Tujuan dan Sumber Pustaka/Rujukan);
Metode (berisi: Langkah dan Waktu Pelaksanaan); Hasil dan Pembahasan (berisi:
Aplikasi Iptek, Rekayasa Alat, Sistem, Manajemen, dan Dampak yang ditimbulkan);
Simpulan dan Saran dan terakhir Daftar Pustaka / Rujukan. Analisis situasi
sangat ‘urgen’ dalam pengabdian, karena ini yang menjadi ketajaman pengabdi
memahami problematika masyarakat, demikian juga metode dan dampak yang
ditimbulkan. Orisinalitas karya barangkali tidak bisa seperti penelitian,
pengabdian memungkinkan menggunakan aplikasi iptek yang sama tetapi lokasi,
analisis situasi, pendekatan, respon masyarakat dan dampak sangat memungkinkan
berbeda. Perbedaan ini, menjadi menarik sebagai pengetahuan pengabdi, untuk itu
selayaknya ‘artikelnya’ bisa dihargai sebagai hal yang berbeda. Mudah-mudahan
di kemudian hari, pengkristalan kesepakatan memperkuat ‘format’ jurnal
pengabdian bisa segera dirumuskan.
Kapal Pinisi
dan Tana Toa Kajang
Di
Bulukumba rombongan dibawa melihat daerah tempat masyarakat membuat kapal
legendaries masyarakat ‘Makasar’ yaitu kapal Pinnisi. Di tempat ini kita
disadarkan bahwa tradisi masyarakat kita telah diakui kehebatannya. Pemesan
kapal Pinnisi tidak saja dari masyarakat Indonesia tetapi juga datang dari
berbagai belahan dunia. Berbagai model kapal dapat dibuat sesuai pesanan, ada
yang untuk kapal penangkap ikan dan ada pula yang untuk kapal pesiar. Ukuran
juga bervariasi dari ukuran kecil hingga sebesar ferri antar pulau. Pendekatan
pembuatan sangat ‘pragmatis’ yang penting fungsi, menggunakan ilmu gathuk
mathuk (kata orang jawa).
Menurut
Galla Puto umumnya masyarakat adat Tana toa hidup dari
bertani dan memelihara hewan ternak. Kehidupan mereka sangat sederhana, tercermin
dari misalnya rumah mereka yang sangat sederhana, tiap rumah hanya memiliki
satu tangga berikut pintu masuk dibagian depan. Pada bagian dalam tidak ada
kamar, yang ada hanyalah dapur yang terdapat pada bagian depan rumah tepat di
sebelah kiri pintu masuk. Penempatan dapur di dekat pintu mengandung filosofis
bahwa Orang Kajang sangat mamuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Tidak
adanya sekat ruangan memiliki makna bahwa orang Kajang ingin menunjukkan sikap
keterbukaannya kepada para tamu yang datang.
Masyarakat kawasan adat Tana Toa dipimpin oleh Ammatoa yang sangat dipatuhi. Ammatoa berarti bapak atau pemimpin yang dituakan. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Ammatoa bukanlah pemimpin yang dipilih oleh rakyat melainkan seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Yang Kuasa. Apabila seorang Ammatoa meninggal dunia, maka Ammatoa berikutnya akan ada lagi tiga tahun kemudian. Dalam masa tiga tahun, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang biasanya terdapat pada seorang calon Ammatoa. Setelah masa tiga tahun, para calon Ammatoa yang telah terpilih dikumpulkan, lalu seekor ayam yang telah dilepas pada penobatan terdahulu didatangkan lagi, lalu ayam tersebut dilepas kembali, ketika ayam tersebut lepas dan hinggap pada seorang calon Ammatoa, maka dialah yang menjadi Ammatoa.
Masyarakat kawasan adat Tana Toa dipimpin oleh Ammatoa yang sangat dipatuhi. Ammatoa berarti bapak atau pemimpin yang dituakan. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Ammatoa bukanlah pemimpin yang dipilih oleh rakyat melainkan seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Yang Kuasa. Apabila seorang Ammatoa meninggal dunia, maka Ammatoa berikutnya akan ada lagi tiga tahun kemudian. Dalam masa tiga tahun, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang biasanya terdapat pada seorang calon Ammatoa. Setelah masa tiga tahun, para calon Ammatoa yang telah terpilih dikumpulkan, lalu seekor ayam yang telah dilepas pada penobatan terdahulu didatangkan lagi, lalu ayam tersebut dilepas kembali, ketika ayam tersebut lepas dan hinggap pada seorang calon Ammatoa, maka dialah yang menjadi Ammatoa.
Sebagai
tetua adat Ammatoa tidak sendirian, tetapi didampingi oleh dua orang Anronta,
masing-masing Anronta Ribungkina dan Anronta Ripangi serta 26 orang pemangku
adat. Ke-26 orang pemangku adat ini antara lain Galla Puto yang bertugas
sebagai wakil atau sekretaris sekaligus juru bicara dan Galla Lombo yang
bertugas untuk urusan luar dan dalam kawasan. Selain itu ada Galla Kajang yang
mengurusi masalah keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla
Meleleng untuk urusan perikanan. Yang jelas di Tana Toa sudah ada tatanan, dan
tatanan tersebut benar-benar dijunjung dengan teguh, ditaati bersama, bagi yang
melanggar juga ada sangsi sesuai hokum adat. Ada beberapa hukum adat, mulai
dari hukuman paling ringan sampai paling berat. Hukuman paling ringan atau
disebut juga cappa babala adalah keharusan menbayar denda
sebesar 12 real ditambah satu ekor kerbau. Satu tingkat diatasnya adalah tangga babala dengan
denda 33 real ditambah satu ekor kerbau, denda paling tinggi adalah poko
babala yang diharuskan membayar 44 real ditambah dengan seekor kerbau.
real yang digunakan dalam hal ini adalah nilainya saja, karena uang yang
digunakan adalah uang benggol yang saat ini sudah sangat jarang
ditemukan.
Juga
ada dua bentuk hukuman lain di selain hukuman denda yaitu: tunu panroli dan tunu Passau.
Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian bertujuan untuk mencari
palakunya. Caranya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang membara
setelah dibakar. Jika tersangka lari dari hukuman dengan meninggalkan kawasan
adat Tana Toa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu Passau. Caranya Ammatoa
akan membakar kemenyan dan membaca mantra yang dikirimkan ke pelaku agar jatuh
sakit atau meninggal secara tidak wajar. Adanya hukum adat dan pemimpin yang
sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa
sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat.
Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat adat Tana Toa memegang teguh pasanga ri Kajang
(pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Isi pasanga ri Kajang
yaitu:
- Tangurangi mange ri turiea
arana, yang berarti senangtiasa ingat pada Tuhan
Yang Berkehendak.
- Alemo sibatang, abulo
sipappa, tallang sipahua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh
kekeluargaan dan saling memuliakan.
- Lambusu kigattang sabara ki
pesona, yang artinya bertindak tegas tetapi juga
sabar dan tawakkal.
- Sallu riajoka, ammulu
riadahang ammaca ere anreppe batu, alla buirurung, allabatu cideng, yang artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara
bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung
- Nan digaukang sikontu
passuroangto mabuttayya, yang artinya melaksanakan
segala aturan secara murni dan konsekuen.
Menarik sekali, masyarakat suku
Kajang yang dianggap ‘kuno’ dan menutup
diri dari gempuran modernisasi zaman ternyata memiliki ‘hal adi luhung’ yang makin banyak
ditinggalkan masyarakat modern. Lima poin pasanga ri Kajang rasanya perlu
menjadi pembelajaran buat kita ‘kumpulan PROdikMAS’ yang seperti masyarakat
Tana Toa dulu, mengisolir menjauhi kegaduhan dan kesemrawutan, PROdikMAS
berkumpul mengaktualisasi diri meninggalkan menara gading PT yang jauh dari akar
rumput masyarakat, bisakah kita menelurkan ‘pasanga ri FLipMAS’ yang bisa
menggawangi misi dan vifi FLipMAS ? Ini Tantangan, jangan kalah dengan Suku
Kajang. Heeee !!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar