Bunga
anggrek ini begitu asri, indah dan segar. Merekah penuh menebar damai. Sedamai,
seasri, seindah dan sesegar itulah kiranya Tuhan YME Pencipta Alam Semesta
berkenan memberkahi bangsa ini di hari-hari yang akan terjalani sepanjang Tahun
2013. Selamat Merayakan Tahun Baru 2013.
Di
hari-hari akhir bulan Desember 2012, Catatan ini baru mulai diterlahir. Di
sela-sela pusaran amanah yang semakin memburu dan meluas. Tak mudah juga buat
menepi sejenak dari hisapan pusaran amanah yang melelahkan. Namun, sebab
menulis juga salah satu wujud dari keihklasan, maka tulisan inipun perlahan
tertata. Terlalu banyak fakta yang tersimpan di dalam pikiran dan perasaan
selama kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir yang mungkin baik untuk dituliskan.
Kita tepikan saja kesialan yang menerjang para senopati ataupun punggawa negeri
sepanjang tahun ini. Mari kita simak saja fakta para rakyat yang memerlukan apa
yang kita punyai saat ini … pengetahuan, keterampilan, pengalaman atau bahkan
harta untuk membantu menyuarakan intelektualitas desa. Bukan kemiskinannya.
Kita seringkali mengira bahwa kota lebih banyak memberi daripada desa. Tetapi
kita lupa bahwa harta karun bangsa ini ada di desa-desa bahkan di dusun-dusun.
Juga kenikmatan hidup ada di dusun-dusun. Sebab itu, dusun, desa dieksploitasi
untuk membangun kota-kota.
Catatan kecil yang dibesut
dari Tabloid Kenangan Edisi Desember 2012, adalah pengantar yang menurut hemat ‘pengutip’
merupakan ruh utama ‘pesan penting’ yang hendak disampaikan sang Ketua FLipMAS kita
Sundani Nurono Suwandi, di luar rekaman perjalanan beliau tentang Wonogiri
dengan melonnya, Sorong, Kupang dengan kegiatan FLipMAS bersama Pertamina dalam
program Mitra Pertamina Penggerak Pembangunan Desa (MP3D), Ternate dan juga
Bali. Beliau berharap apa yang tertulis dan apa yang terekam secara visual,
mudah-mudahan mampu menginspirasi siapapun yang peduli akan nasib bangsa ini.
Bagi yang ingin membaca Tabloid secara penuh bisa menulis surat ke pengelola
Blog ini.
Siapakah
yang tidak menyukai perjalanan? Sendi-ri ataupun berkawan? Tetapi siapakah yang
selalu ingat untuk belajar disepanjang perjalanan, kemanapun tujuannya? hehehe.
Beruntunglah kita jika termasuk ke dalam golongan orang yang suka belajar.
Belajar itu praktis memahami semesta. Paham tentang semesta semestinya memandu
untuk mengakui eksistensi, keagungan dan kebesaranNYA. Untuk mempertahankan eksistensinya,
manusia dianugrahi Tuhan YME, intuisi dan akal. Intuisi itu tak berdimensi,
sedang akal puya batas atau kerangkengnya. Karena tidak berbatas, produk
intuisi itu bersifat super rasional dan sangat dominan kala manusia terancam
hidupnya. Tidak dapat dijelaskan akal. Jika manusia lebih suka menggunakan
intuisinya, jangan heran kalau pada suatu ketika dia mendadak menjadi orang
pintar. Untuk kategori dosen, dia tersesat sebab orang pintar itu tidak pernah
bisa menjelaskan apa-apa yang dikatakannya. Sedangkan dosen harus mampu
menjelaskan. Akan tetapi, banyak juga intelektual yang terlatih akalnya,
kerangkeng lojiknya sangat luas karena kedalaman dan keragaman pengetahuannya,
acapkali berambisi menyamai PenciptaNYA. Ke-dua-duanya tersesat. Sebab itu,
akan serasi jika kedua anugerah tadi dapat diseimbangkan. Di Indonesia, tradisi
kekinian terbangun melalui intuisinya. Begitu jugakah nenek moyang kita dengan
peninggalannya yang begitu membumi sekaligus visioner? hehehe. Intuisi
bertanggungjawab atas perasaan manusia. Oleh karena itu, manusia yang membangun
tradisi dan budayanya melalui intuisi, umumnya bersifat perasa. Suka sekali
dengan hal-hal yang berbau magis atau niskala (orientalis). Sedangkan manusia
yang senang menggunakan akal/nalar atau lojiknya, seringkali kurang
berperasaan. Sebab itu, manusia Indonesia seringkali ditipu manusia dari daratan
sebelah baratnya…sampai sekarang…hahaha.
Manusia yang berakal umumnya akan mencari jalan menemukan TuhanNYA
melalui religi. Sebab dia merasa ada sesuatu yang kurang. Tak terlihat tetapi
yang begitu dahsyat dengan cipta-anNYA. Semakin dia mendekati ketentraman dan
kedamaian melalui religinya, semakin mudah dia mencernakan fenomena semesta.
Jadi, semakin kuat keimanan manusia, semakin kuat akalnya, semakin tajam intuisinya.
Manusia semacam ini umumnya kian sederhana peri kehidupannya. Inilah karakter
nenek moyang bangsa ini. Itu yang disebut banyak orang dengan sakti. Yang semestinya
juga dimiliki bangsa ini sekarang. Tetapi, masih terlalu banyak manusia
Indonesia yang merasa tidak pantas menjadi orang berakal. Sebab itu pulalah
bangsa ini sangat sukar diajak berpikir menemukan masa keemasannya. Coba tengok
jaman keemasan Islam. Kala itu, para khalifahnya, pandai dalam hal agama juga
cendekia. Mungkin kondisi inilah yang seringkali menggoda siapapun dikala
berupaya mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat, untuk surut melangkah.
Tahun
2012 telah berlalu, aneka peristiwa telah terjadi, dominasi laku ‘nista’
bernada korupsi, kebohongan menjadi warna tiap detiknya. Banyak logika
digunakan atas nama kebenaran sendiri dan kelompok untuk berkelit dari realita
busuk. Logika telah bercinta sendiri dengan janji-janji palsu dan kemunafikan
para petinggi negeri, para anggota dewan, atau masyarakat kecil yang kelaparan.
“ Tahun 2012 adalah Tahun Penuh Logika Minus Hati Nurani”, demikian kata Sang
Ketua di akhir Tabloidnya. “Mudah-mudahan Tahun 2013, adalah Tahun Percintaan
Logika dan Hati Nurani”.
(Diadaptasikan dari Tulisan SNS Tabloid Kenangan Desember
2012)